Kamis, 17 Juli 2014

Pengujian Rangkap Tiga

0


Di zaman Yunani kuno, Socrates dianggap memiliki kedudukan terhormat dalam dunia pengetahuan. Suatu hari temannya bertemu dengan filsuf besar ini lalu berkata, "Tahukah kau berita yang kudengar tentang sahabatmu?"

"Tunggu sebentar!" kata Socrates. "Sebelum kau ceritakan kepadaku, aku ingin kau menjalani tes ringan. Tes ini disebut Tes Saringan Rangkap Tiga."

"Tes Saringan Rangkap Tiga?"

"Benar," kata Socrates melanjutkan, "Sebelum kau bercerita tentang temanku, mungkin sebaiknya kita gunakan waktu sejenak untuk menyaring apa yang hendak kau katakan. Itulah sebabnya kusebut Tes Saringan Rangkap Tiga. Tes pertama adalah Penyaringan KEBENARAN. Apakah kau mutlak yakin bahwa apa yang hendak kau sampaikan ini benar?"

"Tidak," jawab orang itu, "Sesungguhnya aku hanya mendengar berita itu dari orang lain dan . . ."

"Baiklah," kata Socrates. "Jadi kau tidak yakin apakah berita itu benar atau tidak! Sekarang, mari kita lanjutkan dengan tes kedua yang disebut Penyaringan KEBAIKAN. Apakah yang hendak kau ceritakan itu adalah sesuatu yang baik tentang sahabatku?"

"Tidak, justru kebalikannya . . ."

"Jadi," lanjut Socrates, "kau hendak menceritakan kepadaku sesuatu yang buruk tentang temanku padahal kau tidak yakin berita itu benar?!! Meskipun demikian, kau masih mungkin lulus dalam tes ini karena masih ada satu tes lagi, yaitu Penyaringan MANFAAT. Apakah berita tentang temanku yang hendak kau sampaikan ini bermanfaat bagiku?"

"Tidak . . . mungkin tifak benar-benar bermanfaat."

"Nah," kata Socrates, "Jika berita yang hendak kau sampaikan tidak benar, tidak baik dan tidak bermanfaat, lalu mengapa kau hendak menceritakannya kepadaku?"

 ***

 Demikianlah mengapa Socrates dianggap sebagai filsuf besar dan terhormat. Jika kita dapat melindungi sahabat kita dan orang-orang yang kita cintai dengan cara demikian, kita tidak akan bisa dipengaruhi orang lain.

Rabu, 16 Juli 2014

Rahasia Kerja Tuhan 2

0


Seorang anak kecil mengadu kepada neneknya tentang kejadian tidak menyenangkan yang ia alami, masalah keluarga, kesehatan, dan lain-lain sementara neneknya membuat kue.

Neneknya lalu bertanya kepada cucunya apakah ia mau snack. Tentu saja cucunya mengiyakan.

"Mau minum miyak ini?" tanya neneknya.

"Hiii . . . ," kata si anak.

"Bagaimana kalau telur mentah? Mau?"

"Jijik, Nek."
"Mungkin kau mau tepung? Atau soda kue?"

"Nek, semua itu menjijikkan!"
Neneknya lalu menjelaskan, "Semua itu tampak tidak enak, tapi bila dicampur dengan cara yang benar akan menjadi kue yang lezat. Begitu pula cara kerja Tuhan. Sering kali kita bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan kita melewati masa-masa yang tidak menyenangkan dan sulit. Tapi DIA tahu bahwa apabila semua kejadian itu diletakkan menurut susunan-Nya pasti hasilnya akan baik. Kita harus menaruh kepercayaan kepada-Nya, bahwa semua ketidaknyamanan itu akhirnya akan menjadi sesuatu yang sangat baik."
 ***
Tuhan sangat mencintaimu, DIA mengirimkan kepadamu bunga setiap musim semi, sinar matahari setiap pagi. Kapanpun kau berbicara kepada-Nya, DIA selalu mendengarkan. DIA dapat tinggal di mana pun di jagad raya ini, tapi DIA memilih tinggal di hatimu.

Selasa, 15 Juli 2014

Rahasia Kerja Tuhan 1

0



Satu-satunya penumpang yang selamat dari kecelakaan kapal laut, terdampar di pulau kecil yang kosong. Ia berdo'a agar Tuhan menolongnya. Setiap hari ia melihat ke kaki langit mengharapkan pertolongan, tetapi tak ada satu pun kapal yang datang.

Setelah lelah menanti pertolongan yang tak kunjung datang, ia kemudian membangun pondok kecil dari kayu-kayu yang hanyut untuk berteduh dan menyimpan harta bendanya.

Suatu hari, setelah mencari makanan, ia pulang dan mendapati pondok kecilnya terbakar. Asap bergulung-gulung naik ke angkasa. Hal yang paling buruk telah terjadi, ia kehilangan semua harta bendanya.

 Ia berdiri terpaku diliputi perasaan sedih bercampur marah.

"TUHAN. . . , TEGANYA KAU BERBUAT DEMIKIAN TERHADAPKU!" teriaknya.

keesokan harinya, ia terbangun oleh suara kapal yang mendekati daratan. Kapal itu datang untuk menolongnya.

"Bagaimana kau tahu aku ada di sini,?" tanyanya kepada si penolong.

"Kami melihat asap yang kau kirimkan," jawabnya.

***

Kita mudah sekali menjadi kecil hati bila urusan tidak berjalan dengan baik. Kita mudah putus asa bila sedang sedih dan menderita, padahal Tuhan selalu mengurus kehidupan kita.

Ingatlah, lain kali bila pondok kecilmu terbakar rata dengan tanah, boleh jadi adalah asap untuk mohon pertolongan. 


Jumat, 11 Juli 2014

FAMILY

0


Aku menabrak seseorang yang tidak kukenal yang sedang lewat. Aku berkata, “Oh, maafkan aku.” Ia berkata, “Maafkan juga aku. Aku tidak melihatmu.”

Kami saling bersikap sangat sopan; aku dan orang yang tidak kukenal itu. Kemudian kami saling mengucap selamat tinggal dan melanjutkan perjalanan.

Peristiwa di atas bila terjadi di rumah akan menjadi sangat berbeda. Renungkan bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kita cintai; tua maupun muda!

Masih di hari yang sama, malam itu aku memasak makan malam. Anak perempuanku diam-diam berdiri di sebelahku. Ketika berbalik, aku hampir saja menabraknya.

“Menyingkirlah kau,” bentakku sambil mengernyitkan alis.

Ia pun pergi dengan membawa luka di hati. Aku tidak sadar betapa aku telah berkata sangat kasar kepadanya.

Malam itu ketika aku berbaring di tempat tidur, terdengar suara lembut Tuhan, “Ketika berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, kau bersikap sangat santun. Tapi terhadap anakmu sendiri, kau berlaku kejam. Coba lihatlah di lantai dapur, kau akan mendapati beberapa kuntum bunga tergeletak dekat pintu. Itu adalah bunga yang akan diberikan kepadamu. Anakmu memetiknya sendiri; merah muda, kuning, dan biru. Ia sengaja berdiri diam-diam di sebelahmu untuk memberikan kejutan. Kau bahkan tidak melihat matanya basah berkaca-kaca.”

Saat itu aku merasa sangat kerdil, dan air mataku mulai berjatuhan. Perlahan-lahan aku pergi ke kamarnya, lalu berlutut di dekat tempat tidurnya.

“Bangun, anak kecil, bagunlah,” kataku lembut. “Apakah bunga-bunga ini kau petik untukku?”

Ia tersenyum, “Aku melihatnya di luar di dekat pohon lalu memetiknya karena bunga-bunga itu cantik sepertimu. Aku tahu kau pasti menyukainya, terutama yang biru.”

“Anakku, aku menyesal atas sikapku tadi. Tidak seharusnya aku berteriak kepadamu seperti itu,” kataku.

“Tidak apa-apa, Mama. Aku tetap mencintaimu.”

“Anakku, aku juga mencintaimu. Aku memang suka bunga-bunga itu, terutama yang berwarna biru.”

***

Sadarlah kau, apabila kita mati esok, perusahaan tempat kita bekerja dapat dengan mudah mencari pengganti kita dalam waktu beberapa hari saja. Namun, keluarga yang kita tinggalkan akan merasa kehilangan sepanjang hidup mereka. Meski demikian, kita lebih banyak mencurahkan segenap yang ada pada kita untuk pekerjaan, bukan untuk keluarga. Sungguh investasi yang tidak bijaksana.

Pesan apa yang dapat kau tangkap di balik cerita ini?

Tahukah kau kepanjangan dari kata family (keluarga)?

FAMILY = [F]ather [A]nd [M]other, [I] [L]ove [Y]ou! (Ayah dan Ibu, aku cinta kepadamu!)

Kamis, 10 Juli 2014

Segenap Kekuatanmu

0



Seorang lelaki bersama anaknya umur 10 tahun mendaki gunung. Si anak berhenti untuk mengamati batu yang berukuran sedang yang terletak di tengah jalan.

“Ayah, bagaimana pendapatmu, mampukah aku menggeser batu itu?”

Ayahnya melihat batu itu lalu berkata, “Ya, asal kau gunakan segenap kekuatan yang kau miliki, kau pasti mampu menggesernya.”

Si anak lalu memasang kuda-kuda dan mendorong batu itu dengan segeap tenaga, tetapi batu itu bergeming.

“Ahh… ternyata perkiraanmu keliru, Yah, aku tidak bisa menggeser batu itu,” kata anaknya.

“Tidak Nak, aku tidak keliru. Aku tadi berkata, kau dapat menggesernya bila menggunakan segenap kekuatan yang kau miliki. Namun, kau tidak menggunakan semua kekuatanmu; kau tidak meminta bantuanku.”

Selasa, 08 Juli 2014

Kubangan Lumpur Dan Semak-Semak

0



Apabila aku melihat sebidang tanaman rumput, aku hanya melihat kumpulan semak-semak yang hanya akan mengotori halamanku.

Namun, anakku membayangkannya sebagai bunga untuk Mamanya, lalu meniup bulu-bulu tipis yang mengelilingi bunganya.

Apabila aku melihat pemabuk tua yang tersenyum kepadaku, aku membanyangkan orang yang jorok dan bau yang mungkin mengharap pemberian uang dariku. Kemudian aku pun menyingkir jauh-jauh darinya.

Namun, anakku melihatnya sebagai orang yang tersenyum kepadanya lalu ia membalas senyumnya.

Apabila aku mendengar musik yang kusukai, aku tahu aku tidak dapat mengikuti nada dan ritmenya. Jadi aku hanya duduk mendengarkan dengan asyik.

Namun, anakku dapat merasakan pukulan dan ketukannya lalu bergerak mengikuti iramanya. Ia juga melantunkan liriknya, dan bila tidak hapal ia mengarang sendiri syairnya.


Apabila aku merasakan hembusan angin di mukaku, aku segera mengambil sikap membelakanginya karena tiupannya hanya akan mengacaukan tatanan rambutku dan menahan laju langkahku.

Namun, anakku menutup matanya, mengembangkan kedua tangannya, lalu bergaya seakan ia terbang. Tidak lama kemudian terdengar suara tawanya mengiringi tubuhnya yang jatuh bergulingan.

Apabila aku berdo’a aku berkata, “Tuhan berilah aku ini, karuniailah aku itu.” Anakku berkata, “Tuhan, terima kasih, Engkau telah memberiku berbagai mainan dan mengenalkanku kepada banyak teman. Singkirkanlah mimpi buruk dariku malam ini. Maaf, aku belum ingin pergi ke Surga sekarang karena khawatir rindu kepada Ibu dan Ayahku.”

Apabila aku melihat kubangan lumpur, aku berjalan menghindarinya, terbayang olehku sepatu berlumpur dan kapet yang kotor.

Namun, anakku akan duduk di atasnya. Membayangkan bendungan, sungai yang harus diseberangi, dan cacing yang bisa diajak bermain.

Jadi, aku tidak heran kalu kita diberi anak agar dapat mengajar kita, atau kita belajar darinya. Tidak aneh apabila Tuhan mencintai anak kecil. Karena itu, nikmatilah hal-hal kecil dalam kehidupan ini, karena suatu saat nanti kau akan melihat ke belakang dan menyadari bahwa sesungguhnya semua itu penting.

Senin, 07 Juli 2014

Pohon Permasalahan

0


Tukang kayu yang kugaji untuk memperbaiki rumah pertanian baru saja menyelesaikan hari pertamanya yang melelahkan. Ban mobilnya yang bocor membuatnya kehilangan 1 jam kerja, gergaji listriknya macet, dan sekarang mobil tuanya mogok, tidak bisa dijalankan.

Aku lalu mengantarkannya pulang dengan mobilku. Ia duduk mematung dan membisu. Sesampainya di halaman rumahnya, ia mengajakku masuk untuk bertemu dengan keluarganya. Ia berjalan menuju pintu dekat rumahnya, tapi kemudian ia berhenti sejenak di dekat sebuah pohon kecil, lalu menyentuh ujung cabang-cabang pohon itu dengan kedua tangannya.

Setelah itu ia mengalami perubahan yang menajubkan. Ketika membuka pintu rumah, mukanya yang kecoklatan karena terik matahari sekarang dihiasi senyum. Ia memeluk kedua anaknya yang masih kecil lalu mencium istrinya.

Ketika aku hendak pulang, ia mengantarku ke mobil. Kami melewati lagi pohon kecil itu. Aku merasa sangat penasaran lalu bertanya kepadanya tentang apa yang tadi ia lakukan.

“Oh, ini adalah pohon permasalahanku,” jawabnya. “Dalam bekerja, aku tidak bisa menghindar dari berbagai permaslahan. Namun, aku berkenyakinan, bahwa persoalanku tidak boleh menjadi persoalan istri dan anak-anakku. Karenanya, setiap kali pulang kerja, aku gantungkan semua persoalanku di pohon ini, dan mengambilnya kembali esok hari. “Anehnya,” katanya sambil tersenyum, “Setiap ku ambil lagi, permasalahan itu tampak jauh lebih mudah diatasi dibandingkan ketika kugantungkan di malam hari.”

Sabtu, 05 Juli 2014

Mangkuk Kayu

0


Seorang lelaki tua tinggal bersama anak laki-lakinya, menantu dan cucunya yang baru berusia 4 tahun. Tangan lelaki tua itu gemetaran, matanya kabur dan jalannya tertatih-tatih.

Keluarga ini selalu makan bersama di meja, namun tangan orang tua mereka yang gemetaran membuat makan menjadi pekerjaan yang sulit baginya. Pastei (pie) menggelinding dari sendoknya jatuh ke lantai. Bila ia meraih gelas, susu tumpah membasahi taplak meja. Anak dan menantunya menjadi jengkel karena kotoran yang diakibatkannya.

“Kita harus berbuat sesuatu terhadap ayah,” kata si anak “Aku sudah tidak sabar lagi melihat tumpahan susu, berisiknya kunyahan dan makanan yang jatuh ke lantai.”

Kemudian suami istri itu menyediakan meja kecil di pojok rumah. Di meja ini ayah mereka makan seorang diri. Karena sang ayah juga memecahkan satu atau dua piring, maka makanan di meja kecil ini disajikan dalam mangkuk terbuat dari kayu.

Bila keluarga ini melihat sekilas ke arah lelaki tua itu, terkadang tampak matanya berkaca-kaca selagi ia duduk sendiri. Apabila sang kakek menjatuhkan garpu atau menumpahkan makanan, mereka menegurnya dengan keras. Sang cucu yang berumur 4 tahun diam-diam menyaksikan semua kejadian itu.

Suatu petang, sebelum makan malam, sang ayah menyaksikan anaknya bermain-main dengan potongan-potongan kayu di lantai. Dengan manisnya ia bertanya, “Lagi bikin apa, Nak?”

Sang anak dengan manja menjawab, “Oh…, aku sedang membuat mangkuk kecil untuk makan Papa dan Mama bila aku sudah besar nanti.”

Anak umur 4 tahun ini tersenyum manis lalu kembali bekerja.

Kata-kata si anak menampar kedua orangtuanya sehingga mereka tak kuasa berkata-kata. Air mata mulai mengalir di pipi mereka. Meskipun keduanya tidak berbicara, tapi mereka tahu apa yang harus segera dilakukan. Malam itu juga, sang suami memegang dengan lembut tangan ayahnya lalu membimbingnya ke meja keluarga. Sejak hari itu, lelaki tua itu makan lagi bersama keluarganya. Dan suami istri itu tidak pernah lagi mempedulikan garpu yang jatuh, susu yang tumpah dan taplak meja yang kotor.

Jumat, 04 Juli 2014

Bukan Sekedar Ibu Rumah Tangga

0





Beberapa bulan yang lalu, ketika aku menjemput anak-anak di sekolah, seorang ibu yang kukenal baik menghampiriku sambil mengomel dengan penuh kemarahan.

“Tahu nggak kau, aku dan kau ini apa?” tanya dia.

Sebelum ku jawab (sebenarnya aku juga belum siap dengan jawaban) dia telah membeberkan alasannya bertanya. Tampaknya ia baru saja memperpanjang SIM di kantor County Clerk. Disana ia ditanya oleh pegawai wanita bagian administrasi tentang pekerjaannya. Emily merasa ragu dan bingung untuk menggolongkan pekerjaannya.

“Maksudku,” jelas pegawai itu, “apakah kau punya pekerjaan, atau kau hanya…?”

“Tentu aku punya pekerjaan,” sahut Emily. “Aku seorang ibu rumah tangga.”

“Kami tidak menggolongkan ibu rumah tangga sebagai pekerjaan, itu termasuk dalam istri,” kata pegawai itu dengan tegas.

Aku telah lupa pada kejadia ini sampai suatu hari aku berada dalam situasi yang sama. Kali ini aku di balai kota. Pegawai yang melayaniku jelas berpenampilan wanita karier, bersikap efisien, dan memiliki jabatan yang berwibawa seperti Pegawai Bagian Interogasi, atau Pegawai Panitera Kota.

“Apa pekerjaan Anda?” tanyanya menyelidik.

Tidak tahu apa yang menyebabkanku berbuat demikian, tiba-tiba kata-kata ini meluncur saja dari mulutku, “aku adalah Research Associate di bidang Pengembangan Anak dan Hubungan Masyarakat.”

Pegawai itu tertegun sejenak, penanya membeku di angkasa, ia melihat ke atas seakan-akan ia belum memahami benar ucapanku.

Kuulangi lagi jabatanku perlahan-lahan dengan menegaskan kata-kata yang kuanggap penting. Dengan mata lebar kutatap jabatan yang megah itu ditulisnya dengan tita hitam tebal di atas foemulir.

“Bolehkan aku bertanya,” kata pegawai itu penasaran, “apa yang kau lakukan dalam pekerjaanmu ini?”

Dengan tenang, tanpa rasa panik sedikit pun, kudengar diriku menjawab, “Aku terlibat dalam program penelitian yang berkisambungan dalam laboratorium dan di lapangan (dalam keadaan nor,al akan kukatakan didalam rumah dan diluar rumah). Aku bekerja untuk majikanku (yakni seluruh anggota keluarga) dan aku telah mendapat penghargaan karena 4 keberhasilanku (semuanya anak perempuan). Sedah barang tertentu, pekerjaan ini sangat penting dan berat bagi kemanusiaan (adakah kaum ibu yang tidak setuju?). aku sering harus berjaga 14 jam sehari (sesungguhnya lebih tepat 24 jam sehari). Pekerjaan ini penuh tatangan dibanding dengan kebanyakan karier yang ada, dan penghasilan lebih banyak berupa kepuasan ruhani ketimbang uang”.

Sampai disini, nuansa penghormatan mulai terdengar dalam nada bicara pegawai itu ketika ia menyelesaikan isian dalam formulirnya. Ia kemudian berdiri da mengantarkanku sampai ke pintu depan.

Sewaktu mengendarai mobil pulang, aku merasa senang dan bangga dengan jabatanku yang megah itu. Sesampainya di rumah aku disambut oleh asisten laboratoriumku yang berumur 13,7 dan 3 tahun. Dan loteng terdengar hasil eksperimen baruku (umur 6 bulan) yang masih dalam taraf program pengujian pengembangan anak dalam pola suara baru. Aku merasa menang. Aku telah mengalahkan birokrasi. Dalam catatan pegawai itu aku menjadi seorang yang terhormat dan sangat dibutuhkan bagi umat manusia, bukan hanya sekedar ibu rumah tangga.

Kamis, 03 Juli 2014

Anak Laki-Laki dan Pohon Apel

0



Dahulu kala ada sebuah pohon apel yang besar. Setiap hari, seorang anak laki-laki kecil mendatangi pohon itu dan bermain di sekelilingnya. Ia memanjat puncaknya, makan buahnya dan tidur di naungannya. Ia mencintai pohon itu, dan pohon itu pun senang bermain-main dengannya.

Waktu berjalan, si anak tumbuh lebih besar. Ia tidak lagi bermain-main di bawah pohon itu setiap hari. Suatu hari si anak mendatangi pohon dengan wajah sedih.

“Mari kita bermain,” kata pohon apel.

“Aku sudah bukan anak-anak lagi, aku tidak bermain-main di bawah pohon,” kata si anak. “Aku ingin punya mainan. Aku butuh uang untuk membelinya.”

“Maaf, aku tidak punya uang, tapi kau dapat memetik semua buahku lalu menjualnya.”

Anak itu menjadi sangat senang. Lalu ia memetik semua apel yang bergantungan di pohon, kemudian pergi dengan perasaan gembira.

Setelah itu, si anak tidak kembali lagi. Pohon apel merasa sedih. Suatu hari, si anak kembali dan pohon apel merasa sangat gembira.

“Mari kita bermain-main,” ajak pohon apel

“Aku tidak punya waktu. Aku harus bekerja untuk menghidupi keluargaku. Kami butuh rumah untuk berteduh. Dapatkah kau membantuku?” kata si anak.

“Maaf, aku tidak punya rumah, tapi kau dapat memotong dahan-dahanku untuk membangun rumahmu.”

Si anak lalu memotong semua cabang pohon dan pergi dengan perasaan gembira. Sang pohon juga merasa bahagia bisa membantu. Namun, setelah itu si anak tidak pernah datang lagi. Sang pohon merasa kesepian dan sedih.

Di musim panas, si anak kembali datang, dan pohon pun merasa sangat senang.

“Kemarilah … mainlah denganku!” kata pohon.

“Aku sedih. Aku sekarang semakin tua. Aku ingin sekali berlayar untuk menikmati hari ruaku. Dapatkah kau memberiku perahu?”

“Gunakanlah batangku untuk membuat perahu. Kau dapat berlayar jauh dan menikmati hari-hari bahagia!”

Lalu si anak memotong batang pohon untuk membuat perahu. Ia pergi berlayar dan lama tidak kembali. Akhirnya, setelah sekian banyak tahun lewat, si anak kembali.

“Nak, maafkan aku, aku tidak punya apa-apa lagi untukmu sekarang. Tidak ada lagi apel untukmu . . ., “ kata pohon apel.

“Aku sudah tidak punya gigi lagi untuk menggigit,” kata si anak.

“Aku tidak punya batang lagi untuk dipanjat.”

“Aku terlalu tua untuk memanjat.”

“Aku benar-benar tidak memiliki apa-apa kecuali akar-akarku yang sekarang sekarat,” kata pohon dengan sedih.

“Aku sekarang juga tidak butuh yang macam-macm, aku hanya butuh tempat istirahat. Aku merasa lelah setelah melewatkan tahun-tahun itu,” jawab si anak.

“Baiklah kalau demikian. Akar pohon tua adalah tempatt yang baik untuk bersandar dan beristirahat. Kemarilah…, duduklah bersamaku. Istirahatlah!”

Si anak lalu duduk. Dan sang pohon tersenyum bahagia, meneteskan air mata.

***

Pohon apel itu ibarat orang tua kita. Ketika waktu kecil kita senang bermain dengan ayah dan ibu kita. Setelah dewasa, kita tinggalkan mereka. Kita hanya mengunjungi orang tua kita ketika membutuhkan bantuan mereka, atau ketika dalam kesulitan. Apapun yang terjadi pada kita, kedua orang tua kita selalu ada di samping kita dan siap memberikan segalanya demi kebahagiaan kita.

Dalam cerita di atas, si anak tampak telah berlaku kejam terhadap pohon, tetapi demikianlah kebanyakan kita tidak mensyukuri keberadaan orang tua kita. Oleh karena itu, jangan lupakan pentingnya keberadaan orang tua kalian, jangan kalian anggap keberadaan mereka biasa-biasa saja. Mereka tidak akan berada di sisi kalian selamanya.

KEBERSAMAAN

0


Seorang anak bertanya kepada ayahnya, “Ayah, berapa penghasilanmu 1 jam?”

Mendengar pertanyaan ini sang ayah marah lalu berkata dengan kasar, “Jangan ganggu aku!”

Sang ayah baru saja pulang kerja dalam keadaan capek dan wajah muram. Namun, anaknya bersikeras dengan pertanyaannya, “Ayah berapa penghasilanmu, tolong jawab…!”

Dengan suara tidak menyenangkan dia menjawab, “Delapan dolar satu jam.”

“Ayah boleh tidak, aku pinjam 4 dolar?”

“Aku sudah berkata, jangan ganggu aku! Diam dan pergilah ke kamarmu!” bentak ayahnya.

Memasuki saat tidur malam, sang ayah sudah merasa agak tenang. Ia menyesali perlakuannya tadi, lalu pergi ke loteng menuju kamar anaknya.

“Kau sudah tidur?” tanya ayahnya.

Ia lalu memberi anaknya 4 dolar yang tadi hendak dipinjamnya. Anaknya mengucap terima kasih, lalu ia meyisipkan tangannya ke bawah bantal dan mengeluarkan dari bawahnya uang 4 dolar yang tampak kusut. “Sekarang aku punya 8 dolar! Ayah, bolehkah aku membeli sejam saja dari waktumu?”