Minggu, 21 Juni 2015

Tersenyum Pada Nasib

0

Sepuluh tahun yang lalu, ketika aku masih kuliah, aku bekerja di museum Natural History milik Universitasku. Suatu hari ketika sedang bekerja sebagai kasir toko barang-barang cenderamata, aku melihat sepasang suami istri yang telah lanjut usia bersama seorang gadis kecil di kursi roda. Kuamati gadis itu, ia seakan duduk dengan posisi aneh, baru kemudian kusadari bahwa gadis itu ternyata tidak memiliki kaki dan tangan, hanya kepala, leher, dan tubuh. Ia mengenakan pakaian putih kecil bertitik-titik merah. Kedua orang tua itu mendorongnya ke arahku.

Aku melihat mesin hitung, lalu menoleh ke arah gadis kecil dan mengkedipkan mata kepadanya. Ketika mengambil uang dari kakeknya, aku sering kali melirik gadis kecil itu. Tak disangka ia tersenyum sangat manis kepadaku. Senyuman paling lebar yang pernah kulihat. Tiba-tiba saja cacatnya hilang dan yang kulihat hanyalah seorang gadis cantik yang senyumannya melumerkan diriku. Sebuah senyuman yang saat itu juga memberiku pengertian baru tentang kehidupan ini. Ia menarikku, mahasiswi miskin yang sengsara ini ke dalam dunianya, dunia yang penuh senyum, cinta, dan kehangatan.

Itu sepuluh tahun yang lalu dan sekarang aku telah menjadi seorang pengusaha sukses. Namun, kapanpun aku merasa sedih dan memikirkan kesulitan-kesulitan di dunia, aku segera teringat gadis kecil ini, dan pelajaran mengagumkan yang telah diberikannya kepadaku. 

 

Sabtu, 20 Juni 2015

Maafkan Bila Aku Mengeluh!

0

 

Hari ini, di sebuah bus, kulihat seorang hadis berambut pirang. Aku ingin secantik dia. Tiba-tiba ia bangkit dan melangkah gontai. Ia berkaki satu, berjalan pincang, memakai tongkat kayu. Namun ketika lewat, ia tersenyum.

Oh Tuhan, maafkan aku bila selalu mengeluh. Aku punya dua kaki. Dunia ini milikku. 





Aku berhenti untuk membeli gula-gula. Anak laki-laki penjualnya sangat menyenangkan. Aku berbicara kepadanya, ia pun menyambut gembira. Seandainya aku terlambat, aku takkan menyesal. Ketika aku hendak pergi, ia berkata, “Terima kasih. Engkau telah begitu baik kepadaku. Menyenangkan sekali berbicara dengan orang sepertimu. Ketahuilah,” katanya, “sesungguhnya aku buta.”

Oh Tuhan, maafkan aku bila selalu mengeluh. Aku punya dua mata. Dunia ini milikku.
 


Lalu, ketika sedang menyusuri jalan, aku melihat seorang anak bermata biru. Ia berdiri melihat anak-anak lain bermain. Ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan. Aku berhenti sejenak, lalu berkata, “Mengapa kau tidak bermain dengan yang lain, Nak?” Ia menatap ke muka, tidak menjawab. Kemudian aku pun sadar, ternyata ia tuli.

Oh Tuhan, maafkan aku bula selalu mengeluh. Aku punya dua telinga. Dunia ini milikku.

Dengan dua kaki yang dapat membawaku kemana saja, dengan dua mata yang dapat memandang cahaya mentari ketika terbenam, dengan dua telinga yang dapat mendengar apa saja yang ingin kuketahui, oh . . . Tuhan, maafkan bila aku selalu mengeluh.

Kamis, 18 Juni 2015

Hari Terbaik Dalam Hidupku

0


anak kecil

Hari ini, ketika bangun tidur, tiba-tiba kusadari, bahwa hari ini adalah hari terbaik dalam hidupku.

Dahulu ada saat-saat yang aku berpikir apakah aku akan hidup sampai hari ini. Tapi ternyata aku berhasil bertahan sampai saat ini. Karenanya, aku sekarang akan merayakannya!

Hari ini, aku akan merayakan kehidupan menakjubkan yang telah kutempuh sampai saat ini: keberhasilan yang kuraih, berbagai nikmat yang kuterima, dan bahkan … benar sekali … kesulitan-kesulitan hidup yang karenanya aku menjadi lebih kuat.

Aku akan menghargai karunia-karunia Tuhan yang tampak kecil: embun pagi, matahari, awan, pepohonan, bunga-bunga, burung-burung.

Hari ini, tak satu pun dari ciptaan-ciptaan Tuhan yang mengagumkan ini akan lolos dari perhatianku.

Hari ini, aku akan berbagi kebahagiaan hidupku dengan orang lain. Aku akan membuat seseorang tersenyum. Aku akan melakukan sesuatu yang lain, aku akan melakukan suatu kejutan kebajikan untuk seseorang yang sama sekali tidak kukenal.

Hari ini, aku akan dengan tulus menghibur seseorang yang sedang dirundung kesedihan.

Aku akan mengatakan kepada seorang anak betapa istimewanya ia. Dan memberitahu orang yang kucintai betapa aku sangat peduli kepadanya, dan betapa ia sangat berarti bagiku.

Hari ini adalah saatku berhenti menyusahkan diri memikirkan apa-apa yang tidak kumiliki, lalu mulai mensyukuri semua hal yang indah yang telah dikaruniakan Tuhan kepadaku.

Aku akan ingat, bahwa mengkhawatirkan sesuatu hanya membuang-buang waktu saja, karena keyakinanku pada Tuhan dan rencana-Nya menyadarkanku bahwa semua akan berlangsung dengan baik-baik saja.

Malam ini, sebelum tidur, aku akan keluar, mengangkat pandanganku ke langit. Aku akan berdiri khidmat menatap keindahan bulan dan bintang, lalu akan kupuji Tuhan atas kekayaan yang agung ini.

Seiring dengan berakhirnya hari, dan kepalaku terbaring di atas bantal, aku akan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Besar atas kehidupanku yang sangat baik ini. Kemudian aku akan tidur seperti tidurnya anak-anak yang bahagia, bergelora dengan harapan karena aku tahu bahwa esok akan menjadi …. hari yang paling baik dalam hidupku. (Author Unknown) 


Hal-Hal Yang Terlewatkan

0


Ketika masih di SMA dahulu, aku memiliki guru istimewa. Suaminya tiba-tiba meninggal karena serangan jantung. Kira-kira seminggu setelah kematian suaminya, ia berbagi pengalaman batin dengan murid-muridnya di kelas. Ketika matahari akhir siang menerobos lewat jendela kelas, dan jam pelajaran hampir habis, ia meletakkan beberapa barang ke pinggir meja lalu duduk di atasnya.

Dengan roman muka yang syahdu, ia berdiam sejenak lalu berkata, “Sebelum pelajaran selesai, aku ingin berbagi pandangan dengan kalian. Meski tidak ada hubungan dengan pelajaran, pembicaraan ini sangat penting. Setiap orang dari kita dilahirkan ke bumi untuk belajar, berbagi, mencinta, menghargai, berbakti. Tidak ada seorang pun dari kita mengetahui kapan pengalaman fantastis ini akan berakhir. Nyawa kita dapat setiap waktu melayang. Mungkin, ini adalah cara Tuhan untuk memberitahu bahwa kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya setiap hari yang kita lewatkan.”

Sampai di sini matanya berkaca-kaca, lalu ia melanjutkan, “Oleh karena itu, aku minta pada kalian semua berjanji kepadaku, mulai saat ini, dalam perjalanan kalian ke sekolah, atau dalam pelajaran kalian pulang ke rumah, carilah sesuatu yang dapat dilihat, boleh saja berupa bau-bauan, misalnya bau roti yang sedang dibakar di salah satu rumah yang kau lewati, atau suara tiupan angin sepoi-sepoi di dedaunan, atau cahaya pagi yang menerpa daun yang sedang melayang jatuh ke bumi di musim gugur. Perhatikanlah semua itu, dan syukurilah, meskipun semua itu tampak biasa-biasa saja. Kita harus menjadikan kejadian-kejadian itu sebagai hal-hal penting yang harus diperhatikan, karena semua itu setiap saat dapat dicabut dari kita.”

Suasana kelas menjadi hening. Kami merapikan buku lalu keluar dari kelas tanpa mengeluarkan suara.

Dalam perjalananku pulang siang itu, aku memperhatikan lebih banyak dari yang kulihat selama satu semester. Kadang-kadang aku masih teringat guru itu dan kesan yang ia goreskan di hatiku. Sekarang aku mulai menghargai hal-hal yang dulu aku anggap biasa saja. (Author Unknown) 

Rabu, 17 Juni 2015

Aku Mungkin Tak Pernah Lagi

0

 
Aku mungkin takkan melihat hari esok

Tak ada jaminan

Dan semua yang terjadi kemarin

Menjadi bagian dari sejarah


Meramal masa depan, aku tak dapat

Mengubah masa lampau, aku tak mampu

Milikku hanya hari ini

Yang kelak akan menjadi kenangan


Aku harus bijak memanfaatkan saat-saatku

Karena semua itu akan berlalu

Lalu lenyap selamanya

Menjadi bagian masa lalu


Aku harus curahkan kasih sayangku

Membantu bangkit mereka yang jatuh

Menjadi teman bagi yang kesepian

Membuat hidup mereka sempurna


Kejahatan yang kulakukan hari ini

Tak dapat kubatalkan

Persahabatan yang gagal kubina

Mungkin tak pernah dapat kuusahakan


Aku mungkin tak punya kesempatan lain

Tuk bersujud mengucap do’a


Tuhan…!

Dengan rendah hati kubersyukur

Atas hari ini yang kau karuniakan

kepadaku
(Author Unknown)

Wanita Lain [The Other Woman]

0


Setelah menikah selama dua puluh satu tahun akhirnya kutemukan cara untuk menjaga cahaya cinta tetap bersinar.

Beberapa waktu yang lalu, aku keluar bersama wanita yang lain dari biasanya. Gagasan itu justru datang dari istriku sendiri.

“Aku yakin kau akan mencintainya,” kata istriku.

“Tapi aku mencintaimu,” protesku.

“Aku tahu itu, tapi kau juga akan mencintainya.”

Sebenarnya wanita yang dimaksud istriku tidak lain adalah ibuku sendiri yang telah menjanda selama 19 tahun. Tuntutan pekerjaan serta tiga anakku membuatku jarang mengunjunginya.

Malam itu aku menelpon untuk mengajaknya kencan makan malam dan menonton bioskop.

“Ada apa? Kau baik-baik saja, kan?” ibuku balik bertanya.

Ibuku termasuk tipe orang yang beranggapan bahwa telepon di larut malam dan undangan mendadak adalah pertanda berita buruk.

“Kupikir akan sangat menyenangkan melewatkan waktu bersama ibu,” jelasku. “Hanya kita berdua saja.”

Dia berpikir sejenak lalu berkata, “Aku setuju dengan rencanamu itu.”

Jum’at itu, setelah kerja, aku meluncur ke rumahnya untuk menjemputnya. Aku sedikit gelisah. Sesampainya di sana, kuperhatikan dia juga agak salah tingkah. Dia memakai mantel, menunggu di depan pintu. Rambutnya dikeriting dan memakai baju yang dikenakannya di ulang tahun perkawinannya yang terakhir. Dia tersenyum dengan wajah seberseri bidadari.

“Aku bercerita kepada teman-temanku bahwa aku kencan dengan anakku. Mereka terkesan,” katanya sambil memasuki mobil. “Mereka tidak sabar menunggu cerita pertemuan kita ini.”

Kami pergi ke restoran yang cukup baik dan nyaman. Ibuku menggandeng tanganku seakan-akan ia adalah istri seorang presiden. Setelah kami duduk, kubaca menu. Mata ibuku hanya bisa melihat tulisan yang tercetak dengan huruf besar.

Selama makan kuperhatikan ibu selalu menatapku. Senyuman nostalgia tersungging di bibirnya. “Biasanya, aku yang selalu membacakan menu ketika kau masih kecil,” kata ibu.

“Sekarang santailah, biar aku yang ganti membaca untuk membalas kebaikan ibu,” jawabku.

Selama makan malam, kami terlibat dalam pembicaraan yang mengasikkan. Tidak ada yang istimewa, hanya tentang kejadian-kejadian terakhir dalam kehidupan kami berdua. Kami bicara banyak sampai lupa acara nonton film. Kemudia aku mengantarkannya pulang.

“Aku akan keluar lagi bersamamu, tapi atas undanganku,” kata ibuku. “Kalau kau setuju?”

Aku segera menyatakan persetujuanku.

Sesampainya di rumah, istriku bertanya, “Bagaimana acara makan malammu?”

“Sangat menyenangkan. Jauh lebih menyenangkan dari yang kubayangkan,” jawabku.

Beberapa hari kemudian ibuku meninggal dunia karena serangan jantung. Kejadian itu begitu mendadak sehingga aku tidak sempat berbuat apa-apa. Kemudian aku menerima amplop ibuku yang berisi kwitansi tanda lunas dari sebuah rumah makan yang rencananya akan kami kunjungi berdua. Amplop itu juga berisi secarik surat berbunyi:

“Telah kubayar lunas. Mungkin aku tidak bisa kesana bersamamu, tapi aku tetap membayar untuk dua orang: untukmu dan istrimu. Kau takkan pernah tahu arti malam itu bagiku. Aku mencintaimu.”

Saat itu aku baru menyadari betapa pentingnya mengucapkan: “Aku Mencintaimu” dan memberi orang yang kita cintai waktu yang layak diterimanya.

Dalam hidup ini tak ada yang lebih penting dari Tuhan dan keluargamu. Luangkan waktu yang layak bagi mereka karena hal itu tak dapat ditunda sampai waktu lain. (Author Unknown)

Minggu, 14 Juni 2015

Waktu

0

Detik-detik waktu yang terasa begitu lama

Diri ini terasa bosan tuk menunggunya

Rasanya terlalu lama..... 

Untuk menunggu 1 jam saja...... 

Akan tetapi...... 

Diri ini akan menyesali 

Waktu-waktu yang telah berganti

#Anonim


Seribu Tanya

0

Adakah seuntai kata
Tanpa bicara?

Adakah sejuta jawab
Tanpa tanya?

Adakah langit kelam
Tanpa mendung hitam?

Adakah guratan merah darah Tanpa luka?

Adakah isak tangis pilu
Tanpa kesedihan?

Adakah rasa damai
Tanpa perjuangan?

Begitulah hidup manusia
Hamba yang selalu bertanya

Adakah keadilan di bumi ini?

O, betapa banyak waktu
Untuk menjawab semua itu

#Anonim


Sebuah Puisi Untuk Sahabatku

0

Matamu bagaikan kilatan pedang yang tajam
Menghujam tepat di hati lawanmu
Tutur katamu membuat suasana jadi tentram 

Mengapa sekarang kau terdiam
Tanpa candamu hari-hariku kelabu
Dukamu bagai tangisan alam
Bawakan sebuah kesedihan yang dalam

#Anonim


Aku dan Tuhanku

0

Ketika aku memandang langit
Aku bertanya pada diriku
Aku...

Siapakah aku sebenarnya?
Darimanakah aku berasal?
Jauhkah aku dari Tuhanku?
Aku....

Tuhan...
Betapa kuasanya engkau
Menciptakan langit dan bumi
Untuk menghidupi orang-orang
Seperti aku

Aku...
Apakah aku sudah mengabdi kepadamu?
Rasanya hanya aku dan Engkau yang tahu

#Anonim